Pernyataan CEO PT Liga Indonesia Joko Driyono ini juga sangat menarik dalam dinamika yang terjadi dalam persepakbolaan nasional sekarang ini, sejatinya setelah munculnya 'kompetisi tandingan' berupa Liga Primer Indonesia yang menafikan diri dari pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk klub-klub pesertanya.
Wawancara Joko Driyono dengan Elshinta kami sajikan sesuai aslinya.
Elshinta: Bagaimana tanggapan bapak mengenai bergulirnya Liga Primer Indonesia ini?
Joko Driyono: Saya menyampaikan bahwa, Djarum Indosenia Super League mempunyai struktur yang terprogam lama dan di tahun-tahun yang lalu semua program itu terus kita lakukan evaluasi. Saya ingin sampaikan bahwa pengaruhnya LPI pada Djarum Indonesia Super League, secara langsung atau tidak langsung kita bisa sampaikan bahwa Djarum Indonesia Super League akan berjalan sesuai dengan apa yang telah kita tetapkan.
Kami dari Liga Indonesia tidak mempunyai kewenangan untuk mendominasi posisi Liga Primer Indonesia karena itu ada di kewenangan PSSI. Kita tetap menjalankan amanat yag telah diberikan pada kita. Untuk mengeksekusi pada semua rencana kita pada tahun-tahun lalu dan juga ending pada tanggal 11 juni 2011 nanti. Ada beberapa catatan, nama tiga klub yang mundur dari LSI, maka akan kita proses layaknya sesuai peraturan yang ada. Oleh karenanya kita melihat apapun warna yang kita jalani oleh kompetisi kita, ini adalah catatan untuk jangka panjang untuk persepakbola kita.
Saya melihat bahwa dari hal hal positif yang kita lihat euforia sekarang bahwa tren positif tentang sepakbola industri telah menunjukan begitu banyak orang terlibat untuk perkembangan sepakbola di negeri ini melalui liga profesional. Posisi ISL saya pastikan tidak akan berpengaruhnya terkait dengan masalah penjadwalan terhadap komitmen klub yang di sponsor atau pasar kita untuk menyelesaikan kompetisi sampai 11 Juni 2011. Ini hal penting yang saya sampaikan terkait perkembangan sepak bola kita.
Elshinta: Mengenai LPI, saya pernah berbincang dengan manajer LPI bahwa mereka menyampaikan beberapa kelebihan dibandingan dengan ISL, terutama pada kelebihan tentang wasit, yang di mana kadang ada beberapa wasit yang tidak fair di lapangan di pertandingan LSI. Mereka memakai wasit dari luar yg mungkin di anggap lebih fair begitu, bagaimana tanggapan pak Joko?
Joko Driyono : Tentu siapa pun bisa memberikan atribut dirinya sendiri, bisa menberikan ulasan sendiri. Tapi, ini sebenarnya hanya waktu dan publik yang memilih. Orang menganggap memang sepakbola kita banyak masalah, saya pun mungkin melihat lebih jauh, lebih berat masalahnya dari apa yang dilihat orang, tapi saya memahami bagaimana orang berpartisipasi dalam memperbaiki ini dari semua tingkatan, dari tingak klub, liga, PSSI. Oleh karenanya posisi kita tidak dalam posisi membanding-bandingkan, karena sebenarnya kita menjalankan sesuai dengan yang kita rencanakan.
Saya ingin menyampaikan catatan, bahwa fenomena yang terjadi sekarang ini sebenarnya bagi kita bukan hanya persaingan liga lain, posisi industri sepakbola juga harus bersaing dengan industri sepakbola luar, bahkan dengan industri-industri yang lain. Antara kita juga memiliki visi, kalau kita tidak bersaing dengan LPI, tapi kita sebenarnya harus besaing dengan negara-negara lain untuk perkembangan sepakbola kita. Tentu apa yang kita lihat sekarang, kita harus mengambil challenge yang muncul atas perkembangan sepakbola tanah air ini.
Saya pastikan liga ini akan tetap komit dan menjalankan semua rencana- rencana pada kita sesuai apa yang kita cita citakan.
Elshinta: Mereka sempat menyinggung masalah pendanaan, mereka lebih profesional dalam pendanaan karena mereka tidak menggunakan dana APBD, dimana klub menggunakan dana APBD karena mereka tidak punya dana akibat kurangannya pembagian pendapatan LSI yang lebih besar untuk federasi. Bagaiman menurut pak Joko?
Joko Driyono: Saya bukan orang yg mempromosikan diri saya, dan juga bukan point saya. Tapi mengenai pendanaan, bisa kita sampaikan mengenai kemandirian klub, apabila mereka hidup apalagi memisahkan diri dari APBD, dan mendapatkan suntikan dana dari bukan sepakbolanya . Misalnya, sebuah klub yang di kompetisi yang lain bukan mendapatkan uang non APBD tapi mendapatkan uang dari suntikan dari orang yang terus menerus disuntikan dananya, ada kalkulasi profit yang memadai, maka sebenarnya tidak sehat dalam konteks industri sebernanya. Cuma berbeda cara mendapatkan dana, dan tidak ada yang dirugikan dalam konteks kemandirian financial.
Elshinta: Jadi pak Joko melihat bahwa klub-klub yang bermain pada LPI kebanyakan meraka mendapat suntikan dana dari peseorangan, bukan dari pendapatan mereka dari bisnis-bisnis klub?
Joko Driyono: Saya belum bisa medeteksifikasi dari mana keuangan, tetapi rasio dari bisnis sepakbola yang semestinya menjadi fans-club andalan, penonton, sponsor, media-live, merchandise, dan saya melihat dari komponen tadi belum mendapatkannya di klub-klub di LPI tadi. Orang selalu mengatakan dia bussinesman jangka panjang, itu semua yang dijanjikan. Oleh karenanya, biarkan waktu dan publik yang medefinisikan. Bagi kita, sebenarnya dalam konteks kompetisi kita biasa berkompetisi. Saya bisa bersaing dengan siapapun, tapi dalam konteks pembinaan olahraga, kita sangat kecewa pada saat ini terjadi perpecahan.
Oleh karena itu bagi kita sebenarnya jangan sampai public ini menjadi gelap, menjadi harga mati, sehingga menjustifikasi perjuangan yang berdarah darah yang dilakukan oleh klub menjadi hilang sedemikian rupa karena konteksnya hanya di sepakbola industri yang sebenarnya ada ruang pembinaan. Kompetisi di bawah umur yang inilah mau saya sharing.
Ini bukanlah satu satunya pengabdian kita pada sepakbola dan sepakbola industri khususnya Indonesia Super League, ada change-power yang membawa dan menggerakkan semua kompetisi kompetisi di bawahnya dan pembinaan di bawahnya. Bagi kami di Liga Indonsia, sampai kapanpun kami akan konsen dan melakukan apa yang kita telah rencanakan.
Elshinta: Pendapatan pembagian dana di LSI itu 80 persen untuk klub dan 20 untuk Federasi, begitu pak? Bagaimana sebenarnya, pak?
Joko Driyono: Menyangkut masalah commercial-right, apa yang disampaikan atau yang terjadi di kita harus dimengerti. Dari tahun ke tahun, pada saat bergulir, pada saat bermain di Liga Indonesia dan berganti Indonesia Super League, ada beberapa polemik yang harus dimengerti.
Pertama, awalnya kita boleh memperlakukan commercial-right diambil semua oleh Liga, dan dialihkan menjadi kontribusi pada klub dan ini terjadi perubahan pada saat Indonesia Super League dilakukan sebesar besarnya cover komuniti komersial kepada klub.
Jadi, apa yang diberikan pada klub bukan sebuah right-money, atau fast money. Dalam artian, klub diberi kebebasan untuk menggali semua commercial-property, atau komersial yang dimiliki klub. Masing-masing bukan uang ditarik oleh kita, dan kemudian dikembalikan oleh mereka, dan saat klub belum bisa menjualnya maka seolah- oleh ada tuntutan uang yang diterima di Liga dan dikembalikan kepada klub. Sementara, Liga memiliki kewajiban atas right yang diberikan pada PSSI untuk mengelola pembinaan yang ada di PSSI, dan itu berlaku di semua Federasi bahwa liga, tim nasional, atau apapun even-even yang sifatnya bisa menanggung nilai komersial tinggi akan dikembangkan, dan bukan dikembalikan pada klub.
Klub-klub yang ada di Eropa, misalnya dia menjadi kaya dan besar, bukan dari keuagan Federasi, tapi dari kemampuan dirinya menjual dirinya dan properti komersial dirinya pada sponsor, pada publik, pada media. Jadi, ini bukan pada pemahamannya. Apakah dia bisa menjual dirinya sendiri? Maka inilah kita jangan sampai keliru memberikan pemahaman pada publik. Dan kita tidak ingin melakukan kebohongan even-even apapun namanya, dan inilah masa depan klub sepakbola yang bisa memanfaatkan oportuniti komersial yang ada. Saya kira itu.
Elshinta: Pak Joko tidak khawatir pada klub-klub lain dengan persentase yang disebutkan 80:20 itu? Karena ada laporan yang menyebutkan, Persis Solo saja akan akan mundur dari Divisi Utama karena mereka kekurangan dana dari APBD yang lalu, yang terlalu kecil bagi pembinaan mereka. Inikah yang terjadi di klub-klub lain dan bagaimana bisa terjadi seperti itu?
Joko Driyono: Ya begini, kompetisi ini bisa terjadi seperti ini harus dilihat dari dua dimensi sekurang kurangnya, bukan hanya dari dimensi ekonomi, tapi juga di dimensi olahraganya. Orang orang pada saat membuat liga baru dalam konteks bisnis ini seolah olah seperti orang membangun pasar modern di sebelah supermarket yang tumbuh lama.
Pada saat pasar komersial menjadi tumbuh lebih besar, ada orang tergoda dan membuat supermarket di sebelahnya, itu bisa terjadi dalam kontaks bisnis, tapi dan dalam konteks olahraga, ini tidak bisa terjadi karena dalam sepakbola, kompetisi itu harus menjamin sistem promosi dan degradasi untuk dari bawah sampai keatas, dan apabila hal itu terjadi, sebenarnya orang melihat hanya dari konteks industri semata-mata, dan bukan hanya konteks ekonomi semata-mata, mengabaikan aspek-aspek history keolahragaan. Itulah yang membuat orang mulai tergoda harus pindah kesana.
Tapi PSSi memproteksi 400 atau bahkan sampai 500 anggotanya. Jangan sampai kita mengabaikan fakta itu, dan menyebabkan yang di atas seolah-olah yang dimiliki pilihan yang sebenarnya pilihan itu mengganggu dari konteks organisasi ini yang harus dimengerti.
Elshinta: Tadi sempat disinggung, masalah pemain-pemain asing yang main di LSI pak Joko, karena mereka harus membayar fee pada Federasi, tetapi mereka di LPi bebas tidak ada pungutan apapun. Bagaimana menurut bapak?
Joko Driyono: Dalam konteks begini, dalam konteks bisnis, sama pada saat saya bisnis pada saat bersaing dengan unit usaha yang lain, maka banyak cara yang dilakukan. Dalam konteks memenangkan kompetisi, saya harus melakukan cara terprogram, dan lain sebagainya. Tetapi, itu bisnis untuk mempromosikan dalam longtherm-planning, karena pada saat orang membandingkan dalam konteks sesaat, maka sebernanya kita harus lihat berapa lama bertahan, dan berapa lama itu dilakukan, dan kemudian sekali lagi saya tidak ingin terfokus dalam dimensi ekonomi dan bisnis semata-mata.
Dalam kontaks menjaga integritas keolahragaannya pada saat itu yang dibicarakannya, kita tidak ngomong ke orang, kita ngomong persuasif, tapi kita harus ngomong dalam konteks regulasi.
Dan itulah sebabnya oraganisasi itu harus tahan lama, dan apabila tidak dimengerti keseluruhannya, maka kita selalu persuasif pada sepakbola Tanah Air dan itu kadang menggembirakan, dan kadang itu harus di bawah signal dan sebagainya, karena kita selalu tergoda dalam hal hal pragmatis dan menurut saya kehilangan orientasi.
Elshinta: Jadi bisa dikatakan, pak Joko, bahwa penyelenggaraan LPi ini tidak mengerti kompetisi sekelas liga dan tidak berumur lama nanti kedepannya?
Joko Driyono: Dan, sekali lagi, saya tidak mendefinisi LPI, konteks tentang kompetensi, prosesi, visi, dan lain sebagainya. Yang harus saya sampaikan bahwa politik PSSI harus mengamankan regulasinya, dan itu adalah kewenangan PSSi, dan bukan kita. Kita jalankan posisi kita saja, dan memvisualisasikan dari perencanaan jangka panjang secara terintergrasi dalam project-planning yang ditetapkan oleh AFC, karena keyakinan kita pada posisi itu.
Dan kita harus menjalaninya secara step by step dan karenanya membutuhkan endurance yang tinggi pada saat ini. Tentu menjadi base yang bisa ditangani ditangani PSSI, bisa ditangani kita, dan dilevel klub, tanpa saya bisa mengindentifikasi posisi LPI, dan saya tidak dalam posisi untuk mempengaruhi siapapun. Semua orang punya pilihan-pilihan, dan ini juga untuk menginvestasikan historis panjang ke depan terhadap sepakbola kita..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar